IJN – Jakarta | Ketua Dewan Pers, Prof. Komarudin Hidayat, menekankan pentingnya supremasi hukum sebagai pilar utama dalam kehidupan berbangsa. Menurutnya, masyarakat yang semakin beradab seharusnya menjadikan hukum sebagai medan utama dalam menyelesaikan setiap persoalan, bukan melalui aksi-aksi jalanan yang rawan menimbulkan konflik.
“Battlefield masyarakat beradab itu di ranah hukum, bukan dengan demonstrasi atau cara-cara lain yang justru bisa menimbulkan ketidakstabilan,” ujar Prof. Komarudin saat berbincang dengan Menteri Hukum, Suratman Andi Agtas, di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Ia mencontohkan Amerika Serikat sebagai negara yang menjunjung tinggi tradisi hukum. Banyak presiden di Negeri Paman Sam, kata dia, merupakan alumni fakultas hukum universitas ternama, termasuk Harvard University. Hal ini menunjukkan betapa tinggi posisi hukum dalam kehidupan politik dan pemerintahan.
Dalam pandangannya, penegakan hukum harus berdiri tegak, transparan, dan berlaku adil bagi seluruh masyarakat. Untuk menggambarkan hal itu, ia mengibaratkan hukum seperti lampu lalu lintas (traffic light) yang sederhana namun objektif.
“Kalau lampunya hijau, semua pengendara boleh jalan. Kalau kuning, siap-siap. Dan kalau merah, semua berhenti. Tidak peduli itu pejabat atau rakyat biasa, semua harus patuh. Hukum seharusnya bekerja seperti itu tegas, adil, dan tidak pandang bulu,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung simbol hukum di lembaga kejaksaan, yakni patung perempuan dengan mata tertutup, satu tangan memegang pedang, dan tangan lain menggenggam timbangan. Menurutnya, makna dari simbol itu adalah bahwa hukum harus berbicara dengan akal dan nurani, bukan berdasarkan penglihatan mata yang bisa bias.
“Kalau hukum bekerja berdasarkan mata, bisa kacau. Tapi kalau berdasarkan nurani dan akal sehat, keadilan bisa ditegakkan,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Prof. Komarudin juga menyoroti peran Dewan Pers di tengah derasnya arus informasi, terutama di era media sosial. Menurutnya, saat ini informasi memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kondisi sosial-politik masyarakat.
“Informasi itu ibarat darah dalam tubuh bangsa. Kalau sehat, masyarakat ikut sehat. Kalau sakit, masyarakat bisa sakit. Masalahnya, sekarang kita menghadapi silent revolution lewat medsos yang sering tidak siap diantisipasi oleh pemerintah,” ujarnya.
Ia mencontohkan keberhasilan sistem pembayaran digital QRIS yang mampu menghadirkan standar nasional. Menurutnya, sistem serupa seharusnya bisa dicontoh dalam bidang informasi agar ada keseragaman dan kontrol yang lebih baik.
“Kita bahkan tidak punya data soft ring date yang lengkap. Kalau QRIS bisa jadi standar, kenapa tidak ada platform informasi yang juga bisa menyehatkan ekosistem media?” tegasnya.
Prof. Komarudin menegaskan bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga eksekutif yang bisa mengambil keputusan, melainkan lembaga pengawas dan penjaga independensi pers. Meski begitu, ia berharap Dewan Pers bisa terus menjadi mitra strategis pemerintah dalam menjaga keseimbangan informasi.
“Kami senang kalau Dewan Pers bisa menjadi teman pemerintah. Kami punya telinga untuk mendengar suara pemerintah, dan satu telinga lagi untuk mendengar aspirasi masyarakat. Dengan begitu, kami bisa berdiri adil,” pungkasnya.
Sumber : Dewan Pers


















